Dikisahkan pada suatu waktu, ada sejumlah besar pedagang
yang sedang berlayar ke samudera dengan sebuah kapal. Ditengah perjalanan,
kapal mereka diterjang badai dengan amat dahsyatnya sehingga mengalami
kerusakan berat. Bagian dasar kapal bocor dan air sudah mulai masuk ke dalam.
Diancam bahaya seperti ini mereka menjadi sangat cemas dan ketakutan.
Masing-masing mencoba mengatasi kejadian yang menegangkan
itu dengan cara sendiri-sendiri. Ada yang menangis meraung-raung meratapi
‘nasib’ yang sedang menimpa diri mereka.
Ada juga yang dengan gencar menyebut mantra atau aji-aji
yang dipercaya dapat menangkal badai. Ada pula yang sambil berkomat-kamit
mengeluarkan segala jimat, ‘hu’ atau pusaka yang selama ini selalu dibawa-bawa
kemana pun mereka pergi.
Mereka percaya benda-benda itu mampu melindungi diri
mereka dari segala macam bahaya. Selain itu ada pula yang sembari menjanjikan
kaul bersujud memohon ampun kepada dewa badai supaya tidak murka dan berhenti
meniupkan badai. Adapula yang menengadahkan kedua telapak tanggannya ke langit,
mencoba memelas kepada Sang Pencipta sekaligus pencabut nyawa bagi umat
manusia. Mereka mencoba memelas dengan memperlihatkan ketaatan, kepatuhan,
kesetiaan, kebaktian dan ketakwaan kepadanya supaya hari kematiannya diperpanjang
lagi.
Di antara pedagang itu, ternyata ada seorang laki-laki yang bukannya
sibuk mencari jalan keluar dalam mengatasi musibah tersebut, melainkan hanya
duduk dengan tenangnya di atas geladak kapal. Tidak ada rasa takut atau cemas
sedikit pun di wajahnya, seolah-olah kejadian itu sama sekali tidak tampak oleh
matanya, jerit-jerit kekhawatiran itu tidak terdengar oleh telinganya, suasana
yang menegangkan itu tidak mencekam batinnya, dan bahaya yang mengerikan itu
tidak disadarinya.
Melihat pemandangan yang aneh tersebut, semua teman
seperjalanannya merasa sangat heran. Mereka kemudian berbondong-bondong
mendatanginya untuk menanyakan mengapa ia bersikap demikian.
Sebelum menjelaskan alasannya, laki-laki bijak itu
mengungkapkan betapa sia-sianya semua upaya yang ditempuh oleh teman-temannya
dalam mengatasi masalah tersebut. Kehidupan umat manusia, juga makhluk-makhluk
lainnya, sesungguhnya tidaklah bergulir mengikuti guratan nasib atau takdir
yang telah ditentukan sebelumnya.
Dunia ini bukanlah sebuah panggung sandiwara dimana umat
manusia dipaksa memerankan adegan-adegan sebagaimana yang digubah sebelumnya.
Setiap makhluk mempunyai hak dan kepercayaan yang kesahihannya tidak pernah
terbuktikan.
Fenomena-fenomena alam terjadi dan berubah hanya oleh
sebab-sebab yang alamiah atau ilmiah, sama sekali tidak terpengaruh oleh
kepercayaan yang seharusnya sudah punah sejak kebangkitan peradaban manusia.
Demikian pula dengan jimat, ‘hu’ pusaka dan benda-benda keramat lainnya. Yang
dapat menjadi pelindung sejati bagi diri seseorang bukanlah sesuatu yang berasa
di luar dirinya, apalagi hanya sekedar benda mati yang tak berjiwa semacam itu.
Pada jaman dimana segala kekuatan alam sudah dapat
dijelaskan serta dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan, seseorang tidaklah
semestinya takut lagi pada dewa-dewa ‘tertentu’ yang keberadaannya tidak pasti.
Sungguh memprihatinkan apabila seseorang termakan oleh promosi tentang
tokoh-tokoh fiktif yang digambarkan sebagai penyelamat agung yang senantiasa
menolong umat manusia. Setiap orang sesungguhnya dapat menjadi juru selamat
bagi diri sendiri.
Karena itu, seseorang hendaknya bersandar pada diri sendiri,
bukan kepada makhluk kudus lain betapa pun luhur kedudukannya. Hukum Alam
tidaklah pernah pandan gbulu atau berpihak pada siapa pun, dan tidaklah dapat
disuap atau dibujuk dengan doa-doa permohonan.
Karena itu, tidaklah perlu berdoa pada suatu makhluk yang
bersikap sewenang-wenang, yang eksistensinya sangat meragukan. Manusia bukanlah
makhluk rendah yang harus mengemis-ngemis keselamatan apalagi hanya sekedar
‘makanan’ dan ‘rejeki’.
Selanjutnya laki-laki bijak itu menjelaskan mengapa ia sama
sekali tidak kelihatan takut, cemas atau khawatir atas bahaya yang mengancam
dirinya. Ia hanya duduk dengan tenang karena sudah menyadari serta
mempertimbangkan bahwa tidak ada jalan keluar yang wajar dari bahaya tersebut.
Kematian sesungguhnya bukan suatu hal yang menakutkan.
Kematian tidak lebih hanyalah padamnya lima kelompok kehidupan. Cepat atau
lambat, hal ini pasti menimpa setiap orang. Bagaikan batu karang besar yang
puncaknya menjulang ke angkasa, niscaya berubah dan hancur; demikian pula
perubahan, kelapukan dan kematian menguasai semua makhluk, tak terkecuali –
apakah dia seorang bangsawan, agamawan, pedagang, pekerja atau orang hina-dina.
Tidak ada satu makhluk hidup pun yang dapat terhindar dari kematian. Dimana ada
kelahiran disitu pula ada kematian. Ini adalah suatu Hukum Alam yang tidak
dapat dielakkan.
Bila kita renungkan secara mendalam, seseorang yang
dipandang secara duniawi sebagai makhluk yang hidup sebenarnya setiap saat
mengalami kematian dan kelahiran kembali yang berulang-ulang. Tidak ada satu
bagian pun dari lima kelompok kehidupan yang dapat bertahan terus, kekal.
Rupa atauu badan jasmaniah mulai dari yang tertampak dengan
jelas sampai dengan sel-sel yang sangat kecil sekalipun senantiasa mengalami
perubahan atau kerusakan. Begitu pula dengan perasaan, ingatan, corak batin dan
kesadaran. Semua yang berkondisi tidak kekal.
Apabila mempunyai pengertian semacam itu, dan yakin atas
perbuatan-perbuatan yang dilakukan semasa hidupnya – yang menjadi salah satu
kondisi penentu bagi kehidupan selanjutnya, maka seseorang tidak akan merasa
takut, cemas atau khawatir atas kematian yang bakal menimpa dirinya.
Kematian dapat diterima dalam kewajaran. Dengan mengisi
kehidupan dengan perbuatan-perbuatan baik melalui pikiran, ucapan dan tindakan
– seseorang dapat mengharapkan kehidupan mendatang yang baik dan menetukan
kehidupan mendatang. Apabila seseorang tercekam rasa ketakutan yang tak
beralasan (perwujudan dari ‘dosa’), melekat pada kehidupan, dunia, harta benda,
kemasyuran, kedudukan, kehidupan mendatang bagi dirinya dapatlah dipastikan
yaitu suatu kehidupan, yaitu kehidupan yang suram, penuh penderitaan.
Sebaliknya dengan menjaga keadaan batin agar tetap tenang
serta mengembangkan pengertian benar; maka kehidupan mendatang yang cerah dan
menyenangkan adalah suatu harapan yang nyata bagi dirinya. Salah satu dari
sekian banyak cara untuk menenangkan batin ialah dengan merenungkan jasa
kebajikan yang pernah diperbuat semasa hidupnya.
Diceritakan oleh laki-laki bijak itu bahwa
menjelang keberangkatannya menuju samudra, ia telah
mempersembahkan dana kepada Sangha, menyatakan pernaungan pada Sang
Tiratana, berpantang dari pembunuhan, pencurian, perzinahan.
pendusataan dan pemabukan. Jasa kebajikan inilah yang
menjadi pokok perenungan bagi dirinya di saat-saat
yang kritis. Dalam Agama Buddha, perenungan – perenungan ini disebut
Caganussati dan Sila nussati yang merupakan dua di antara 10 macam perenungan
(Annusati 10).
Mendengar penjelasan laki-laki bijak itu, hilanglah perasaan
takut yang sebelum ini sangat mencekam para pedagang yang sedang mengalami
musibah tersebut. Kini sadarlah mereka atas hakikat kehidupan di dunia ini.
Timbullah keyakinan yang benar terhadap Sang Tiratana ; Buddha, Dhamma dan
Sangha, di hadapan laki-laki bijak itu mereka semua menyatakan kebulatan
tekadnya untuk menjalani Pancasila.
Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap pembunuhan,
air samudra menggenang hingga sebatas lutut. Ketika selesai mengucapkan
pantangan terhadap pencurian, air samudra menggenang sebatas pinggang. Ketika
selesai mengucapkan pantangan terhadap perzinahan, air samudra menggenang
sebatas dada. Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap pendustaan, air
samudra menggenang hingga sebatas leher. Ketika selesai mengucapkan pantangan
terhadap mabuk-mabukan, air semudra menggenang sebatas mulut.
Begitu kelima sila selesai diucapkan semuanya, laki-laki
bijak itu memberikan nasihat singkat : “Tidak ada pelindung selain diri
sendiri. Tidak ada penyelamat lain selain diri sendiri. Bagaimanapun kehidupan
mendatang, semua itu tergantung dari diri Anda sendiri, bukan orang lian, dewa,
malaikat maupun makhluk adikodrati.
“Anda sekalian hendaknya merenungkan sila yang telah Anda
tekadkan untuk dijalankan dengan kesungguhan hati. Pelaksanaan Dhamma yang
telah Anda lakukan, inilah yang menjadi pelindung Anda yang sejati.”
Para pedagang itu menuruti serta melaksanakan nasihat
laki-laki bijak itu. Mereka akhirnya sanggup menyambut kematian dengan penuh
ketenangan dan kemantapan diri, seolah-olah menyambut seorang tamu. Begitu
kesadaran ajal (cuti-citta) mereka padam, mereka semua terlahir kembali di Alam
Surga Tavatimsa. Mereka menikmati kebahagiaan surgawi di alam sana dalam waktu
yang lama berkat tekadnya yang kuat dalam menjalankan Pancasila.
Dari kisah di atas, tampaklah dengan jelas betapa besar
peranan seorang bijak dalam mengarahkan orang-orang lain pada jalur yang tepat.
Dengan modal teladan pribadinya yang nyata dan kearifannya., orang bijak
sanggup mengikis habis kesesatan batin yang bercokol pada orang-orang lain dan
sebaliknya memupuk keyakinan surgawi, hanyalah sebagian kecil dari banyak
manfaat yang dapat diraih dengan menjalin pergaulan dengan orang bijak. Singkat
kata,”Bergaul dengan orang bijak” adalah suatu Berkah Utama.
Sementara orang mungkin berpendapat bahwa orang bijak
tersebut dapatlah dianggap ‘gagal’ menolong serta menyelamatkan teman-teman
seperjalanannya karena mereka semua akhirnya mati terbenam dalam samudra.
Sesungguhnya, makna ‘keselamatan’ dalam pandangan Agama Buddha memang sangatlah
berbeda jauh dengan konsep yang dianut oleh beberapa kepercayaan dan agama
lain. Orang bijak bukanlah seorang Buddha Abadi, bodhisattva ideal
ataupun juru selamat yang menghidupkan orang mati, menyembuhkan sakit, atau
menyelamatkan dari segala bencana malapetaka bagi mereka yang percaya atau
melafalkan namanya.
Bagi orang bijak, semua itu sesungguhnya hanyalah suatu
keselamatan yang semu ~ walaupun seandainya merupakan suatu kenyataan bukan
semata-mata dongeng belaka. Apalah artinya suatu kehidupan, kesembuhan
atau keselamatan, apabila seseorang tidak tahu akan kesunyataan mulia
(ariya-sacca). Orang bijak tidak ingin menjadi seorang penghibur yang berusaha
mengelabuinya, menutupi atau menjauhkan orang-orang lain dari hakikat hidup.
Tetapi, sebaliknya dengan berbagai cara orang bijak senantiasa berusaha agar
mereka dapat menyadari, menatap serta menerima hakikat hidup
dengan pengertian benar. Inilah sesungguhnya keselamatan
yang sejati.
Pergaulan dengan orang bijak adalah suatu faktor penunjang
bagi timbulnya kebajikan, pengetahuan, pandangan benar, kearifan dan kebijaksanaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar